Rabu, 28 Januari 2009

Kompetensi dan Profesionalisme

asal usil.....:-)

Malam ini saya, belum tidur karena masih kepikiran diskusi kecil yang saya lakukan dengan Dr. Munip dari UIN Sunan Kalijaga dua hari ini.

Sebenarnya diskusi ini merupakan bagian dari penelitian tentang toleransi dan keberagaman dalam kehidupan beragama, mengapa negeri ini yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Bhineka-an pada praktek nyata masih menyimpan prasangka diantara sesama anak bangsa???

Lha... trus, apa hubungannya dengan kompetensi dan profesionalisme????

Jika diurut-urut (biar lurus dan g' ruwet!!!) mungkin itu semua berakar kepada permasalahan ego manusia ehh....setiap anak bangsa. Katanya, semangat kebangsaan (biar keren "nation") hanya akan terwujud jika ada perasaan senasib dan sepenanggungan!!! lah... kalo pada kenyataannya kalo yang berkembang semangat "enthuk akeh kurang akeh" jadinya yha..."asu gedhe menang kerahe" maksudnya sudah dapat banyak kurang banyak jadinya menang-menangan (mbok ya ingat yang lain...)!!! singkat cerita ini yang bisa kita sebut ego manusia yang tidak dikendalikan!!! trus apa gunanya nilai-nilai moral dan etik agama dikibarkan??? apa hanya sebagai simbol ataukah sekedar aspek legal dan tanda kenal???

Kembali pada pertanyaan “Apa hubungannya dengan kompetensi dan profesionalisme???” sabar tho.....

Begini, pemahaman ataupun tafsir akan nilai-nilai dan aturan suatu agama sebenarnya pada setiap individu dari penganut agama tersebut pada dasarnya adalah tidak sama, ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, wawasan dan pergaulan dari individu (apa lagi yha???). Nahh!!! agar tercipta suatu keteraturan sebagaimana kita harapkan bersama mungkin perlu ditentukan kesamaan sudut pandang (ONE VISION kata si fredie mercury bareng grupnya Queen, he..he..) agar didapat titik singgung (atau titik temu yha?) pemahaman ataupun tafsir terhadap nilai-nilai ataupun aturan tersebut. Kondisi ideal ini secara sistematis dan strategis hanya dapat dicapai melalui institusi "pendidikan"!!! sehingga, idealnya mereka yang memiliki profesi sebagai penjaga moral dan etik seharusnya memiliki dasar pendidikan keagamaan!!! bukan dari antah berantah (inilah yang diawal disinggung "mbok ya ingat yang lain...)!!!

Realita yang ada, terkadang... bahkan sampai banyak kejadian… si A yang tidak diketahui asal-usulnya ataupun si B yang terkenal sebagai seorang ahli bidang ilmu... menjadi terkenal sebagai tukang dakwah dan ceramah keagamaan!!! dia lebih disukai karena gaya bicaranya yang ilmiah (atau ngilmiah...yha?) sehingga terasa lebih mengena..., pas..., sreg... dihati umat (saya sangat setuju jika para penjaga moral memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik sehingga mampu mengaktualkan nilai-nilai keagamaan dalam konsep kekinian).

Ini hal yang baik, sepanjang “semangat” dilakukan secara sadar hanya dan hanya untuk tujuan mengingatkan ataupun menyadarkan sesama!!! tetapi ketika “sudah terdapat pemahaman si A atau si B kalo ceramah bagus, indah, enak dsb, sehingga kalo ceramah harus si A atau si B!!! apa yang berkembang selanjutnya tidak semangat popularitas???

“Popularitas sama dengan materi berlimpah”

Kalo memang begini adanya, apapun akan dilakukan!!! Batasan nilai “semangat” disini akhirnya akan bias dan yang tahu hanyalah nurani si A dan si B semata bukan orang lain!!!

Profesionalisme sama dengan Popularitas, tapi
Popularitas belum tentu sama dengan Profesionalisme


Bener tidaknya ungkapan diatas adalah kembali ke pemahaman kita masing-masing, saya hanya ingat kalimat kang Ebet Kadarusman ”Memang baik jadi orang penting, tapi lebih penting jadi orang baik”.

Sekian, mohon maaf apabila ada salah-salah kata !!! ”Dadiyo wong kang biso rumongso, ojo rumongso biso” yang artinya ”jadilah orang yang bisa merasa, jangan jadi orang yang merasa bisa” atau singkat kata mbok yha ”tahu diri”!!!!!